Penulis: Faizah Adilah (Wakil Gubernur Mahasiswa FKIP KBM UNIB 2025)
Hari Guru yang sudah kita peringati kurang lebih 80 Tahun seharusnya bukan lagi seremonial belaka yang berisi ucapan terimakasih dan penghargaan simbolis untuk para guru satu tahun sekali. Hari Guru tak cukup sekedar memberi bunga, tetapi memastikan hak guru sudah sebanding dengan perjuangannya.
Ada banyak masalah struktural yang tak kunjung selesai terhadap guru: kesejahteraan, kepastian status dan akses perlindungan yang sering diterpa ketidakadilan. Lalu Apakah pemerintah benar-benar hadir dalam dunia Pendidikan? Apakah Pendidikan masih menjadi prioritas Negara? Apakah guru di Indonesia bisa disebut sejahtera?
Salah satu hal yang menonjol dan memang perlu disoroti adalah ketimpangan upah guru. Berbagai berita dan laporan menunjukan sebagian besar guru terutama guru honorer masih menerima upah di bawah standar, Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan Great Edunesia Dompet Dhuafa melakukan survey kesejahteraan guru di Indonesia pada pekan pertama bulan Mei 2024 dalam rangka Hari Pendidikan Nasional “Survei tersebut mengungkapkan bahwa sebanyak 42 persen guru memiliki penghasilan dibawah 2 juta per-bulan dan 13 persen diantaranya berpenghasilan dibawah 500 ribu per bulan” Kondisi seperti ini bukan hanya soal angka, tetapi berdampak dengan martabat seorang pengajar, mulai dari motivasi kerja hingga kualitas pembelajaran bagi peserta didik.
Pada momentum Hari Guru ini kita perlu merenungi: Bagaimana mungkin sebuah bangsa berharap maju, sedangkan pengajar generasinya saja masih berjuang untuk sekadar hidup yang layak?
Hak-hak itu bukan hadiah, itu adalah kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan perjuangannya. Mulai dari merancang pembelajaran, melaksanakannya, menyusun administrasi, mengevaluasi, hingga memahami emosional peserta didik ditengah kondisi emosionalnya sendiri saja tidak stabil. Guru tidak pernah meminta kemewahan, mereka hanya menuntut apa yang menjadi hak mereka setelah berjuang mati-mati an mencerdaskan bangsa.
Kritik kepada pemerintah bukan semata untuk mencela melainkan sebuah dorongan agar negara lebih mengambil sikap dan bertanggung jawab terhadap permasalahan Pendidikan terkhusus kesejahteraan guru; kepastian status bagi guru honorer, kepastian upah, tunjangan juga perlindungan professional serta transparansi sistem pencairan dana dan rekrutmen.
Maka dari itu hari guru ini hendaknya bukan hanya sebagai ajang apresiasi tetapi juga sebagai momentum untuk menuntut agar hak-hak guru terpenuhi, menuntut pemerintah untuk meneguhkan komitmen dalam mensejahterakan Pendidikan di Indonesia. Karena pada akhirnya semua orang tau, bangsa yang besar adalah bangsa yang memperlakukan gurunya dengan besar juga, karena dari tangan merekalah terbentuk masa depan negeri ini.
Guru adalah investasi panjang sebuah negara. Menghargai guru tidak cukup melalui pidato terimakasih atau puisi romantis semata, penghargaan sejati adalah ketika negara menyediakan kesejahteraan hidup, kepastian perlindungan dan akses yang setara terhadap fasilitas maupun upah dan tunjangan terhadap guru.
Sebuah kutipan di media sosial pernah menyentuh hati penulis, “Guru tak pernah benar-benar pulang. Tubuhnya mungkin lelah, tapi pikirannya selalu tertinggal di kelas”. Terpujilah engkau wahai guru, di tanganmulah masa depan negeri diam-diam tumbuh.
