
Keputusan Bank Bengkulu untuk tidak memperpanjang kontrak kerja 88 karyawan hasil rekrutmen tahun 2024 menuai pro dan kontra. Bagi sebagian orang, langkah ini dinilai keras dan menimbulkan gejolak sosial. Namun, jika ditilik lebih dalam, keputusan tersebut justru memperlihatkan keberanian Bank Bengkulu dalam menjaga integritas, marwah, dan profesionalisme lembaga.
Rekrutmen yang dilakukan tahun lalu sejak awal memang sarat dengan kontroversi. Banyak pihak mengkritisi proses seleksi yang dianggap tidak transparan. Nama-nama yang lolos justru didominasi anak pejabat, kerabat penguasa, dan pihak yang diduga kuat memiliki akses istimewa ke lingkaran kekuasaan.
Dalam praktik rekrutmen yang sehat, kriteria utama adalah kompetensi, integritas, dan profesionalitas. Namun, publik menduga hal itu tidak sepenuhnya berlaku pada rekrutmen Bank Bengkulu tahun 2024. Aroma gratifikasi dan nepotisme begitu kental, sehingga hasil seleksi lebih mencerminkan kepentingan politik ketimbang kebutuhan institusi. Relasi kuasa tampaknya dimanfaatkan untuk menanamkan kepentingan dalam tubuh Bank Bengkulu.
Lebih jauh, sebagian nama dalam rekrutmen tersebut terkait erat dengan lingkaran kasus korupsi yang menyeret mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah. Ini bukan tuduhan belaka, praktek kotor proses rekrutmen Bank Bengkulu tahun 2024 pernah diungkap KPK “Dugaannya adalah yang telah dinyatakan lulus, dimintakan uang. Total uang yang terkumpul kurang lebih 1 Milyar Rupiah,” ungkap Jubir KPK, Tessa Mahardhika, Selasa, 18 Maret 2025. Kondisi ini tentulah tak pantas untuk ditampikan, bahwa rekrutmen Bank Bengkulu tahun 2024 sangat-sangat kotor
Kondisi ini tentu berbahaya bagi lembaga keuangan daerah. Sebagai bank pembangunan milik daerah, Bank Bengkulu dituntut menjaga akuntabilitas dan profesionalisme. Jika rekrutmen saja sudah penuh intervensi, maka bagaimana publik bisa percaya pada tata kelola bank tersebut? Oleh sebab itu, keputusan untuk tidak memperpanjang kontrak 88 karyawan ini harus dipandang sebagai langkah pembersihan. Meski pahit, langkah ini diperlukan agar Bank Bengkulu tidak terjebak lebih jauh dalam pusaran konflik kepentingan yang merusak kredibilitas.
Sebagian pihak mungkin berargumen bahwa langkah ini melanggar hak tenaga kerja atau tidak menghormati perjanjian kontrak. Namun perlu dipahami, kontrak kerja memiliki batas waktu. Keputusan untuk memperpanjang atau tidak adalah hak penuh pemberi kerja, apalagi jika terdapat catatan integritas dalam proses rekrutmen sebelumnya. Kita tidak bisa menutup mata bahwa praktik gratifikasi dalam rekrutmen BUMD sudah lama menjadi rahasia umum. Masyarakat bahkan mengenal istilah “jual beli kursi” untuk menggambarkan fenomena ini. Jika Bank Bengkulu memilih jalan berbeda dengan menghentikan kontrak hasil rekrutmen yang cacat integritas, bukankah itu justru langkah maju?
Tentu, bagi individu-individu yang menjadi korban keputusan ini, terasa tidak adil. Mereka sudah bekerja, bahkan mungkin ada yang benar-benar berkompetensi. Namun, secara kelembagaan, Bank Bengkulu harus menegaskan sikap bahwa praktik rekrutmen kotor tidak boleh dilanggengkan. Lembaga keuangan daerah harus bebas dari praktik nepotisme. Bank Bengkulu tidak boleh menjadi tempat parkir anak pejabat, kerabat politisi, atau titipan kekuasaan. Jika kondisi itu dibiarkan, bank ini hanya akan menjadi instrumen patronase politik, bukan institusi profesional.
Dalam konteks ini, keputusan manajemen Bank Bengkulu selaras dengan semangat reformasi birokrasi dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Keberanian untuk memutus mata rantai gratifikasi adalah syarat mutlak bagi lembaga publik agar tetap dipercaya. Bayangkan jika Bank Bengkulu membiarkan hasil rekrutmen 2024 terus berjalan. Maka, opini publik akan semakin negatif, seolah-olah bank ini memang sengaja menjadi “tempat aman” bagi hasil kongkalikong politik. Citra profesionalisme akan runtuh, dan pada akhirnya berdampak pada kepercayaan masyarakat sebagai nasabah.
Keputusan pahit ini juga menjadi peringatan bagi pemerintah daerah selaku pemilik saham mayoritas. Intervensi politik dalam rekrutmen BUMD hanya akan merugikan daerah sendiri. Lembaga yang seharusnya menghasilkan keuntungan untuk pembangunan justru menjadi beban karena tidak dikelola dengan baik. Publik perlu mendukung langkah-langkah berani seperti ini. Memang ada risiko munculnya gugatan hukum dari para karyawan kontrak yang diberhentikan. Namun, jika proses rekrutmen mereka terbukti bermasalah, maka secara moral Bank Bengkulu memiliki legitimasi untuk mengambil langkah tegas.
Lebih jauh, kasus ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki sistem rekrutmen ke depan. Bank Bengkulu harus memastikan setiap proses seleksi pegawai dilakukan secara transparan, berbasis kompetensi, tanpa diskriminasi, tanpa label anak pejabat dan patron-patron haram lainnya yang selama ini menutup kesempatan putra-putri terbaik daerah. Integritas sebuah lembaga tidak hanya diukur dari laporan keuangan atau neraca laba rugi. Integritas justru terlihat dari cara lembaga itu mengelola sumber daya manusia. Pegawai yang masuk melalui jalur kotor akan sulit menumbuhkan budaya kerja profesional.
Keputusan ini seharusnya menjadi preseden positif bagi BUMD lain. Jika Bank Bengkulu berani memutus tradisi titipan politik, maka BUMD lain pun semestinya berani melakukan hal serupa. Dengan begitu, praktik patronase yang selama ini membelenggu dapat diurai perlahan. Perlu diingat, marwah Bank Bengkulu adalah kepercayaan publik. Nasabah menyimpan uang mereka karena yakin bank ini dikelola secara aman dan profesional. Jika integritas internal runtuh, maka kepercayaan publik pun akan goyah. Karena itu, langkah manajemen kali ini layak diapresiasi.
Terlepas dari polemik yang ada, pemberhentian 88 karyawan kontrak adalah bentuk komitmen untuk membangun Bank Bengkulu sebagai lembaga yang akuntabel. Proses hukum dan pengawasan publik harus tetap berjalan, agar kedepan tidak ada lagi celah bagi intervensi politik dalam rekrutmen. Pada akhirnya, langkah Bank Bengkulu ini bukan sekadar soal kontrak kerja. Ini adalah soal arah masa depan lembaga: apakah ingin terus terjebak dalam pusaran kepentingan politik, atau berdiri tegak sebagai bank daerah yang profesional dan dipercaya. Keputusan ini menunjukkan bahwa Bank Bengkulu memilih jalan yang benar.